Partisipasi APPERTANI dalam Focused Group for Solution (FGS)

Percepatan Perencanaan Produksi Perberasan Nasional Aspek Hulu dan Hilir
Bappenas, Jakarta – 6 dan 8 Oktober 2025
Justifikasi kegiatan FGS.
Beras menjadi komoditas strategis dan penting di dalam perekonomian Indonesia karena mempunyai keterkaitan dari sektor hulu dan hilir yang melibatkan berbagai pihak dalam sistem pangan nasional, dengan perhatian utama pada petani produsen padi dan konsumen. Sebagai pangan pokok sumber karbohidrat masyarakat Indonesia dengan angka partisipasi konsumsi 99.33%, ketersediaan beras yang terjangkau oleh seluruh masyarakat serta harganya stabil menjadi kunci penting dalam menjaga ketahanan nasional yang resilien dan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia dari masa ke masa melaksanakan berbagai kebijakan untuk mendorong peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing dari aspek produksi, pengelolaan distribusi dan logistik, pemasaran, perdagangan, dan juga konsumsi melalui kampanye pola pangan B2SA (beragam bergizi seimbang dan aman). Menyadari tantangan sektor perberasan yang dinamis tersebut, Bappenas menilai diperlukan forum pembahasan yang bersifat hulu-hilir di sektor perberasan dengan melibatkan para ahli, akademisi dan praktisi perberasan di Indonesia.
Melalui forum pembahasan ini, diharapkan dapat menggali permasalahan perberasan di Indonesia, mengidentifikasi berbagai pihak terkait, serta memberikan masukan konstruktif guna merumuskan rekomendasi kebijakan yang relevan terhadap situasi tersebut. Selain itu, forum ini diharapkan dapat merumuskan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat peraturan perlindungan LP2B demi mewujudkan swasembada pangan nasional, meningkatkan kesejahteraan petani dan mencapai visi Indonesia Emas pada tahun 2045. Rumusan-rumusan hasil pembahasan dan rekomendasi kebijakan ini oleh Bappenas akan dituangkan ke dalam Grand Design Perberasan Nasional. yang berkelanjutan, inklusif, dan adaptif.
Pada FGS hari pertama 6 Oktober 2025 tentang Perberasan aspek hilir terdapat tujuh pembicara, tiga di antaranya dari APPERTANI. Para senior APPERTANI yang menjadi pembicara adalah Prof. Bayu Krisnamurthi (Kebijakan stabilisasi dan pasokan harga beras), Prof. Husein Sawit (Kebijakan perberasan dalam konteks keberpihakan kepada petani dan konsumen), dan Prof. Achmad Suryana (Peran Beras dalam Pemenuhan pangan dan Gizi).
Ruang lingkup yang akan dicakup dalam forum pembahasan ini meliputi:
- Kementerian PPN/Bappenas sedang menyusun Grand Design (GD) Perberasan Nasional. Hal ini merupakan upaya Bappenas untuk mewujudkan kebijakan nasional perberasan yang terintegratif, memastikan arah dan tujuan, serta strategi perberasan yang berkelanjutan, inklusif dan adaptif. Dalam kaitannya dengan penyusunan GD tersebut, Bappenas melaksanakan beberapa kali FGS (Focus Group for Solution) yang melibatkan para ahli, mulai dari hulu sampai ke hilir tentang isu strategis perberasan nasional.
- Penulis diminta sebagai narasumber dari APPERTANI dalam aspek kebijakan perberasan, khususnya tentang “Implementasi Kebijakan Harga yang memihak Petani dan Konsumen”, namun tidak mengabaikan peran pelaku pasar/pelaku industri penggilingan padi (IPP). Naskah tersebut disampaikan pada FGS di Bappenas tanggal 6 Oktober 2025.
- Kepemihakan tersebut haruslah dianalisa dari 3 unsur utama dari kebijakan harga yang saling terkait yaitu: (1) penetapan harga dasar (HD) untuk merangsang pentingkatan produksi serta perlindungan terhadap petani; (2) penetapan harga langit-langit (HL) pada tingkat yang layak dan terjangkau konsumen; dan (3) perbedaan atau margin yang cukup antara HD lawan HL guna untuk menutupi biaya penyimpanan, perawatan stok antar-musim dan perdagangan antar-daerah.
- Penetapan HD (sekarang dikenal dengan HPP/harga pembelian pemerintah) semakin menjauhi rumus sederhana yang disepakai selama 10 tahun terakhir yaitu 30% di atas biaya produksi. Akhir-akhir ini, HPP ditetapkan dalam bentuk GKP (gabah kering panen) sembarang kualitas (any quality) pada harga Rp 6.500/kg. Penetapan ini sarat dengan pertimbangan politis daripada rasional ekonomi. Dampaknya luas, tidak hanya petani dan Bulog sebagai pelaksana, tetapi juga industri perberasan secara keseluruhan. Petani diuntungkan dalam jangka pendek, tetapi tidak mendidik petani dalam mempertahankan atau meningkatkan kualitas gabah. Bulog menjadi lembaga penampung gabah rusak (banyak butir hijau/hampa, kadar air tinggi, gabah berkecambah. Itu membuat rendemen giling rendah, serta kehilangan hasil tinggi, sehingga diperoleh biaya produksi beras melonjak tinggi. Pengadaan GKP langsung dari petani, meningkatkan risiko pengadaan, menghilangkan peran tengkulak (berjasa dalam memilih kualitas dan memilah varietas), membuat peran penggilingan padi kecil/menengah (PPK/PPM) tidak tertarik untuk mengolah GKP sembarang kualitas. Sebagian PPK/PPM digunakan Bulog dengan menyewa (sistem maklon) tentunya membuat biaya produksi beras menjadi lebih mahal.
- Pada sisi konsumen, ada dua hal yang berubah cukup signifikan yaitu: ketetapan HL dan perubahan preferensi konsumen beras.
- HL pada awal penerapannya, ditetapkan oleh Bulog dengan melihat perkembangan harga beras, pertumbuhan produksi dan stok Bulog. Bulog yang memutuskan kapan perlu intervensi, dan berhenti setelah harga pasar kembali normal, yaitu berada di bawah HL. Sejak akhir 2017, HL dibuat dalam format HET (harga eceran tertinggi) yang ditetapkan oleh Kemendag, yang selanjutnya ditetapkan oleh Bapanas. Ketetapan HET adalah mandatori, terikat semua pihak, tidak hanya Bulog, tetapi juga pelaku usaha dan dikena sangsi apabila mereka tidak mematuhinya. Satgas Pangan yang dikomandoi oleh polisi dikerahkan untuk pengawasannya. Hal itu membuat pelaku usaha wawas/kuatir sesrta tidak nyaman dalam berusaha.
- Selama 15 tahun terakhir, telah terjadi perubahan preferensi konsumen beras. Perubahan itu didorong oleh urbanisasi, berkembangkan pasar formal (mini atsu super market), meningkatnya partisipasi wanita bekerja, meningkatnya pendapatan manyarakat, serta berkurangnya orang miskin. Beras telah berubah dari komoditas menjadi produk yang sesuai dengan atributnya. Diperkirakan pertumbuhan permintaan beras kualitas bagus mencapai 11%/tahun, dengan pangsa sekitar 38%. Sebaliknya, beras kualitas rendah (termasuk beras asalan/beras pecah kulit) pangsanya mencapai sekitar 60%, namun pertumbuhannya diperkirakan hanya 9%/tahun. Kebijakan yang berpihak konsumen beras haruslah melihat perubahan tersebut.
- Unsur ke-tiga dari kebijakan harga beras yaitu tentang rentangan harga (the width of price band) semakin diabaikan, intervensi politik lebih menonjol daripadai pertimbangan rasional ekonomi. Keinginan politis adalah mempersempit perbedaan HPP vs HET, dengan cara meningkatkan HPP dengan menekan kenaikan HET. Harga beras menjadi sangat stabil, dampaknya tidak hanya dilihat dari stabilisasi harga/inflasi, tetapi juga berpengaruh buruk terhadap macro-economic benefit dari stabilisasi harga. Pelaku usaha (termasuk PP) semakin berisiko dan hilang insentif untuk menguasai stok antar-musim. Penetrasi pasar berkurang. Bulog harus mengambil peran pasar atau pelaku usaha, yaitu pengadan lebih banyak, harus menguasai stok lebih besar, internensi pasar menjadi tinggi, serta lebih luas. Itu semua berpengaruh pada beban APBN, biaya stabilisasi harga menjadi tinggi (at all cost). Manfaat stabilisasi harga beras yang terlau stabil (hampir merata sepanjang tahun) menjadi kurang bermakna manakala pelaku usaha/pelaku IPP bangkrut.
- Sejumlah saran yang terkait dengan unsur-unsur kebijakan harga beras agar dipertimbankan adalah:
- Tinjau ulang penetapan HPP sembarang kualitas, kembali menerapkan harga GKP sesuai dengan kualitasnya. HPP ditetapkan sebesar 30% di atas biaya produksi.
- Pertimbangkan pengehentian penetapan HET mandatori dan hentikan keterlibatan Satgas Pangan. Pemerintah tidak perlu mengatur HET untuk beras kualitas bagus, serahkan hal itu pada pasar/industri PP agar terjadi modernisasi dalam industri PP sesuai perubahan preferensi konsumen.
- Tinjau ulang standar kualitas beras secara menyeluruh. Disarankan agar kualitas beras kembali ke ketentuan SNI 6128:2015 yang mengikuti standar kualitas internasional.
- Tinjau ulang pengadaan PSO BULOG untuk GKP langsung dari petani, karena risiko nya tinggi. Kembali ke pengadaan beras melalui PPK/PPM agar usaha mereka hidup. Apabila proporsi kualitas CBP lebih banyak premium, akan mendorong PPK/PPM untuk memperbaiki alat/mesin agar mereka mampu menghasilkan beras premium sesuai dengan kebutuhan CBP.
- Pertimbangkan perbedaan harga HPP beras tingkat petani vs HET beras pada kisaran yang wajar (diusulkan 20-30%). Perbedaan itu, dianggap dapat memberi ruang pada pelaku usaha/pelaku industri untuk menyerap lebih banyak gabah petani, menyimpan dan melakukan stok antar-musim, sehingga akan berpengaruh positif pada stabilisasi harga. Bulog akan lebih efisien dalam menutupi biaya pengadaan, penyimpanan, perawatan stok, serta beban APBN menjadi akan lebih wajar. Itu artinya, dampak macro-economic benefit dari stabilisasi harga akan menjadi tinggi.

